Minggu, 26 Oktober 2014

Pernikah Siri




Nikah secara bahasa adalah berkumpul atau bercampur, sedangkan menurut syariat secara hakekat adalah akad (nikah) dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual) menurut pendapat yang shahih, karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata nikah dalam kitab Allah -Subhanahu wa ta’ala- kecuali untuk makna at-tazwiij (perkawinan). Kata “siri” berasal dari bahasa Arab sirrunyang berarti rahasia, atau sesuatu yang disembunyikan. Melalui akar kata ini Nikah siri diartikan sebagai Nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan Nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan.
Nikah adalah melakukan ikatan yang sah antara dua insan (laki-laki dan perempuan) yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan, cara berfikir (mental), pendidikan dan lain hal yang di lakukan berdasarkan hukum yang berlaku pada agama dan negara. Sedangkan Siri adalah rahasia, jadi Nikah siri dapat diartikan sebagai Pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali yang sah dan terpenuhi syarat dan rukun nikahnya tetapi tidak dicatat di KUA dengan alasan dan pertimbangan tertentu dan disetujui oleh kedua pihak yang menikah. Nikah siri adalah Pernikahan yang dilakukan tanpa wali yang sah ataupun saksi.
Pernikahan yang dilakukan secara siri tanpa diketahui oleh pihak wali sah perempuan, maka pernikahan seperti ini tidak sah secara Agama dan Negara. Hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
Dari Aisyah ra, beliau berkata:
Rasulullah SAW bersabda “perempuan manasaja yang dinikahi tanpa izin walinya, maka nikahnya bathil-beliau mengatakannya tiga kali.”
Hal lain yang wajib diperhatikan oleh orang yang hendak menjalankan nikah siri hendaklah ia berlaku adil terhadap para isterinya dalam menggilir jatah menginap dan memiliki kemampuan dalam memberikan nafkah lahir dan bathin.
Dalam banyak kasus tentang hak anak hasil nikah siri terdapat kesusah dalam pengurusan hak hukum seperti nafkah, warisan, maupun akta kelahiran karena tidak tercatat di dalam KUA.
Nikah siri sah secara agama dan atau adat istiadat, namun tidak diumumkan pada masyarakat umum, dan juga tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang beragama non Islam. Ada kerena faktor biaya, tidak mampu membiayai administrasi pencatatan; ada juga disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri menikah lebih dari satu (poligami) tanpa seizin pengadilan, dan sebagainya. Ketiga; Nikah yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut menerima stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu Nikah siri atau karena pertimbangan-pertimbangan lain yang akhirnya memaksa seseorang merahasiakannya.
Nikah siri kadang-kadang diistilahkan dengan nikah “misyar”. Ada ulama yang menyamakan pengertian kedua istilah ini, tetapi tidak sedikit pula yang membedakannya. Nikah siri kadang-kadang diartikan dengan nikah “urfi”, yaitu Nikah yang didasarkan pada adat istiadat, seperti yang terjadi di Mesir. Namun nikah misyar dan nikah urfi jarang dipakai dalam konteks masyarakat Indonesia. Persamaan istilah-istilah itu terletak pada kenyataan bahwa semuanya mengandung pengertian sebagai bentuk Nikah yang tidak diumumkan (dirahasiakan) dan juga tidak dicatatkan secara resmi melalui pejabat yang berwenang.
Nikah siri yang tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara sering pula diistilahkan dengan Nikah di bawah tangan. Nikah di bawah tangan adalah Nikah yang dilakukan tidak menurut hokum negara. Nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap Nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa pengakuan dan perlindungan hukum.
Secara hukum positif, nikah siri adalah ilegal karena tidak tercatat dalam catatan resmi pemerintah. Hal ini dikarenakan, siapapun warga Negara Indonesia yang  menikah harus mendaftarkan pernikahan itu ke KUA atau Kantor Catatan Sipil, untuk mendapatkan Surat atau Akta Nikah. Jika terjadi persoalan-persoalan yang menyangkut hukum sipil, pelaku nikah siri tidak berhak mendapatkan atau menyelesaikan masalahnya melalui lembaga-lembaga hukum yang ada, karena pernikahannya tidak terdaftar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar