Nikah secara bahasa adalah berkumpul atau bercampur, sedangkan menurut syariat secara hakekat adalah akad (nikah) dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual) menurut pendapat yang shahih, karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata nikah dalam kitab Allah -Subhanahu wa ta’ala- kecuali untuk makna at-tazwiij (perkawinan). Kata “siri” berasal dari bahasa Arab “sirrun” yang berarti rahasia, atau sesuatu yang disembunyikan. Melalui akar kata ini Nikah siri diartikan sebagai Nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan Nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan.
Nikah adalah melakukan ikatan yang sah antara dua insan (laki-laki
dan perempuan) yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari segi fisik, asuhan
keluarga, pergaulan, cara berfikir (mental), pendidikan dan lain hal yang di
lakukan berdasarkan hukum yang berlaku pada agama dan negara. Sedangkan Siri adalah rahasia, jadi Nikah siri dapat diartikan sebagai
Pernikahan yang dilakukan dengan adanya
wali yang sah dan terpenuhi syarat
dan rukun nikahnya tetapi tidak
dicatat di KUA dengan alasan dan pertimbangan tertentu dan disetujui oleh kedua
pihak yang menikah. Nikah siri adalah
Pernikahan yang dilakukan tanpa wali
yang sah ataupun saksi.
Pernikahan
yang dilakukan secara siri tanpa diketahui oleh pihak wali sah perempuan, maka
pernikahan seperti ini tidak sah secara
Agama dan Negara. Hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan Ibnu Majah, Ibnu
Hibban, dan lain-lain.
Dari Aisyah ra, beliau berkata:
Dari Aisyah ra, beliau berkata:
Rasulullah SAW bersabda “perempuan
manasaja yang dinikahi tanpa izin walinya, maka nikahnya bathil-beliau
mengatakannya tiga kali.”
Hal lain
yang wajib diperhatikan oleh orang yang hendak menjalankan nikah siri hendaklah
ia berlaku adil terhadap para isterinya dalam menggilir jatah menginap dan
memiliki kemampuan dalam memberikan nafkah lahir dan bathin.
Dalam banyak kasus tentang hak anak hasil nikah siri terdapat kesusah dalam pengurusan hak hukum seperti nafkah, warisan, maupun akta kelahiran karena tidak tercatat di dalam KUA.
Dalam banyak kasus tentang hak anak hasil nikah siri terdapat kesusah dalam pengurusan hak hukum seperti nafkah, warisan, maupun akta kelahiran karena tidak tercatat di dalam KUA.
Nikah siri
sah secara agama dan atau adat istiadat, namun tidak diumumkan pada masyarakat
umum, dan juga tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara,
yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan
Sipil (KCS) bagi yang beragama non Islam. Ada kerena faktor biaya, tidak mampu
membiayai administrasi pencatatan; ada juga disebabkan karena takut ketahuan
melanggar aturan yang melarang pegawai negeri menikah lebih dari satu
(poligami) tanpa seizin pengadilan, dan sebagainya. Ketiga; Nikah yang
dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut menerima
stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu Nikah siri atau
karena pertimbangan-pertimbangan lain yang akhirnya memaksa seseorang
merahasiakannya.
Nikah siri
kadang-kadang diistilahkan dengan nikah “misyar”. Ada ulama yang menyamakan
pengertian kedua istilah ini, tetapi tidak sedikit pula yang membedakannya.
Nikah siri kadang-kadang diartikan dengan nikah “urfi”, yaitu Nikah yang
didasarkan pada adat istiadat, seperti yang terjadi di Mesir. Namun nikah
misyar dan nikah urfi jarang dipakai dalam konteks masyarakat Indonesia.
Persamaan istilah-istilah itu terletak pada kenyataan bahwa semuanya mengandung
pengertian sebagai bentuk Nikah yang tidak diumumkan (dirahasiakan) dan juga
tidak dicatatkan secara resmi melalui pejabat yang berwenang.
Nikah siri
yang tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara sering pula
diistilahkan dengan Nikah di bawah tangan. Nikah di bawah tangan adalah Nikah
yang dilakukan tidak menurut hokum negara. Nikah yang dilakukan tidak menurut
hukum dianggap Nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa
pengakuan dan perlindungan hukum.
Secara hukum
positif, nikah siri adalah ilegal
karena tidak tercatat dalam catatan resmi pemerintah. Hal ini dikarenakan,
siapapun warga Negara Indonesia yang menikah harus mendaftarkan
pernikahan itu ke KUA atau Kantor Catatan Sipil, untuk mendapatkan Surat atau
Akta Nikah. Jika terjadi persoalan-persoalan yang menyangkut hukum sipil,
pelaku nikah siri tidak berhak mendapatkan atau menyelesaikan masalahnya
melalui lembaga-lembaga hukum yang ada, karena pernikahannya tidak terdaftar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar